Rabu, 31 Desember 2008

Waham Kebesaran

pada bulan Maret 2008, saya mendapat undangan untuk presentasi dan mengisi pelatihan di Batu Malang. Perjalanan ditempuh melalui udara Jakarta – Surabaya, dan dilanjutkan dengan mobil jemputan, dengan menyisiri bendungan lumpur Lapindo Brantas. Perjalanan yang seharusnya singkat, menjadi lambat, menyusuri tanggul ini menjadi pilihan yang berat, karena jalanan yang sempit, dipenuhi dengan para penjual asongan dan pengamen.

Supir jemputan ini bercerita panjang lebar tentang kasus lumpur Lapindo, berdasarkan pengamatan, pemahaman, penalaran seorang supir. Ia menyatakan, seharusnya meluasnya area lumpur ini tidak perlu terjadi, jika Pemerintah dan pihak Lapindo Brantas mengambil langkah yang tepat. Dikarenakan lambatnya tindakan yang diambil, maka bencana ini menjadi meluas dan sulit untuk diatasi.

Supir ini bercerita dengan logat surabayanya yang kental, dengan semangat 45, dia memaparkan bagaimana sulitnya para penduduk sekitar, kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, harta benda dan harapan. Untuk mereka yang kuat, hal ini dapat dilewati dengan menebalkan kesabaran, namun tidak sedikit orang yang stress. Tidak sanggup menerima beban yang mereka emban, merasa jerih payah mereka seumur hidup, hilang begitu saja di depan mata. Menuntut penggantian, tidak kunjung selesai. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka menjadi gila.

Perbincangan tentang gangguan kejiwaan ini menarik perhatian saya, karena seseorang dapat dikenali mengalami gangguan kejiwaan secara kasat mata. Salah persepsi tentang diri, menganggap orang lain dibawah kendalinya, seperti halnya postpower sindrom. Para orang tua yang telah lama bekerja, apalagi memiliki jabatan yang tinggi, dihormati orang dimana-mana, selalu dilayani. Maka, akan merasa kehilangan kendali diri apabila berhenti bekerja, ia merasa tidak berarti dan tidak dibutuhkan lagi, hal ini terjadi ia jika memiliki mental inferior. Kebalikannya, jika ia memiliki waham kebesaran, maka, ia akan tetap merasa diatas, tetap minta dihormati, tetap memberikan perintah. wa·ham adalah keyakinan atau pikiran yg salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yg tidak berdasarkan logika; sangka; curiga (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Uniknya, ada suatu cerita yang tersebar dikalangan masyarakat. Ada seorang tua mengalami gangguan jiwa, yang mungkin karena rasa kagumnya kepada pemilik Lapindo Brantas, atau mungkin juga karena rasa kesalnya. Merasa dirinya adalah pemilik pengeboran yang telah melakukan kekacauan ini. Gaya bicara sudah seperti boss, asal perintah, sebentar tertawa, kemudian bicara lantang seolah-olah sedang memimpin rapat, sebentar kemudian menangis.

Masyarakat merasa kasihan, akhirnya orang tua ini dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa. Pada awal masuk, seluruh staff dan dokter RSJ berkeyakinan, bahwa orang ini masih dapat disembuhkan, karena penyakit yang dideritanya disebabkan tekanan yang begitu berat, apabila dapat diberikan penyadaran, dan sedikit dikurangi beban hidupnya, mungkin akan sembuh.

Selama 3 bulan pertama, penyembuhan ini terasa begitu sia-sia, karena setiap dilakukan terapi, pasien mengatakan tidak mengalami masalah, karena ia mengaku dialah pemilik perusahaan ini, kenapa semua orang tidak percaya. Semua tingkah lakunya meniru orang kaya, walaupun tanpa HP, dia seakan-akan berkomunikasi dengan bawahannya, memberikan intruksi dan arahan, sebentar-bentar tersenyum menyatakan kepuasannya, disaat yang lain, marah.

Memasuki 6 bulan, tanda-tanda kesembuhan mulai tampak. Ia mau berkomunikasi, dia sadar bahwa dia bukanlah pemilik pertambangan. Sudah sadar, sudah tahu siapa dirinya, mengenal semua tamu yang datang menjenguknya.

Pada bulan ke 10, Dokter RSJ menyatakan bapak ini telah sembuh total, berdasarkan pengamatan dan pemantauan selama 3 bulan terakhir. Dikarenakan ini adalah kasus yang jarang terjadi, maka sebagian staff berinisiatif mengadakan syukuran, dengan mengundang seluruh dokter yang ada, dan para tamu yang dianggap membantu memberikan kesembuhan.

Diakhir acara, sebelum ditutup dengan doa, maka bapak ini diberikan kesempatan untuk menyampaikan testimoni, semacam ungkapan perasaan dan pernyataan untuk berterima kasih kepada yang lain.

Dengan sedikit sungkan, akhirnya bapak ini berbicara:

“Selama saya disini, dalam perawatan dan penyembuhan penyakit saya di Rumah Sakit ini, saya merasa terharu, sangat terharu. Karena tanpa bantuan Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, rasanya saya tidak mungkin seperti ini. Tak dapat dibayangkan, bagaimana jengkelnya Bapak dan Ibu sekali, ketika menghadapi ulah saya dahulu, mengaku pemilik pertambangan, bergaya seperti orang kaya, seperti orang yang memiliki pengaruh tak terbatas, perintah sana, perintah sini, jika tidak dituruti, akan marah. Untuk itu saya mengucapkan, mohon maaf yang sebesar-besarnya”

“Ucapan terima kasih saya kepada dokter-dokter yang telah setia menemani, atas pengorbanan dan pengabdian yang tak kenal lelah, berjuang demi kesembuhan saya, sehingga saya sadar sesadar-sadarnya, bahwa saya bukanlah pemilik perusahaan itu. Juga ucapan terima kasih saya kepada seluruh staf, karena telah menerima saya dengan baik, dan juga telah memperlakukan saya dengan baik.”

“Ada satu hal yang masih mengganjal dihati saya, sebelum saya tutup testimoni ini. Saya sudah sadar, bahwa saya bukanlah pemilik perusahaan, sehingga saya tidak perlu takut bertemu mereka, tidak perlu takut akan tuntutan-tuntutan mereka, tidak perlu cemas akan tatapan mata mereka, dan tidak perlu bertanggungjawab atas kesedihan mereka, tapi, apakah mereka juga sudah sadar, bahwa saya bukanlah pemilik perusahaan itu. Takutnya, mereka masih menyangka sayalah pemiliknya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar