Senin, 17 Agustus 2009

Mari bertanya pada diri sendiri

Jika Plato, Socrates dan Aristoteles kita kumpulkan dalam perdebatan dengan tema “bagaimana mengembangkan diri”, maka mereka akan serempak menjawab, “mulailah bertanya pada dirimu sendiri!”.

“Loh?, bertanya ya pasti ke orang lain, bukan kepada diri sendiri, yang bener aja tuh guru dan para murid-muridnya, ngurus hidup aja sudah susah, eeeeh, malah suruh nanya diri sendiri”

Bertanya pada diri sendiri ternyata sangat perlu, bahkan kalau perlu kita ulang setiap hari ketika kita mau tidur dan baru memulai hidup baru kita. Waktu bangun tidur kita tanyakan pada diri kita, apa yang akan kita lakukan hari ini, untuk hidup kita yang lebih baik, untuk hari ini, untuk satu tahun ke depan dan untuk masa depan itu sendiri. Ketika kita akan tidur, kembali kita bertanya pada diri kita, apakah yang kita rencana di pagi hari tadi, telah berjalan sesuai dengan apa yang kita tanyakan pada diri kita, jika ya, maka kita telah melalui hidup dengan baik, jika tidak, maka harus kita evaluasi kembali, apa yang menjadi tujuan hidup kita.

Bertanya pada diri sendiri, akan membantu memberikan arah kepada kita, memberikan dan mempertegas kembali apa yang akan kita capai, dan apa yang akan kita perbuat. Sehingga pernyataan yang sederhana dan paling sering kita dengar setelah orang itu tua, “janganlah anda menyia-nyiakan masa muda, saya menyesali hidup ini, karena saya tidak berbuat di waktu muda”

Apakah anda telah bertanya pada diri anda hari ini?

Minggu, 11 Januari 2009

IQ, EQ, SQ dan .....

Ada-ada saja manusia zaman sekarang, entah karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, atau karena memang kebutuhan yang semakin meningkat, sehingga sebuah bahasan atau topik akan sangat diperdebatkan di disiplin ilmu yang lain. Area keahlian dari satu disiplin ilmu dibikinkan tembok yang sangat tinggi dan bahkan di puja-puja tapal batasnya.

Intellectual Quotient, atau yang lebih dikenal dengan IQ, pada awal 1970an dijadikan standar kecerdasan seseorang, dijadikan patokan menerima atau menolak seseorang untuk masuk suatu komunitas, sekolah, perguruan tinggi, kerja, profesi. Sehingga pada akhirnya, akan membahas tentang sukses tidaknya seseorang di masa yang akan datang. Sungguh dahsyat pengaruh test IQ pada saat itu, hingga akhir 1980an dan di awal 1990.

Celakanya, patokan ini dijadikan acuan oleh dunia pendidikan, memberikan label pintar atau tidaknya seorang siswa, melalui sederet hitungan yang menggunakan text, gambar, pemahaman, dll. Walhasil, ketika angka kita tertulis dibawah 90 untuk anak yang tamat SMU, maka dengan kata-kata yang sangat lembut, namun mematikan, petugas yang menghitung itu memberikan masukan untuk tidak masuk sekolah yang bagus, percuma katanya.

Lembaga pengukur IQ dan para psikolog, menjadi hakim masa depan anak-anak kita, menentukan arah dan sebaiknya apa yang kita lakukan, tidak bergantung pada keinginan anak. Saya hampir terperangkap.

Pada awal 1990, pada psikolog menemukan lagi sesuatu yang baru, Emotional Quotient. Para psikolog aliran EQ malah berani menyatakan, bahwa IQ tidak dapat dijadikan pegangan untuk menyatakan sukses dan tidaknya seseorang di masa yang akan datang. Kestabilan emosi atau yang lebih dikenal dengan kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam sukses atau tidak seseorang.

Masih menurut pakar EQ, berapa banyak orang yang cerdas secara intelektual, namun sulit untuk berinteraksi dengan orang lain, sulit untuk mengerti perasaan orang lain, sehingga sulit untuk bekerjasama. Kesulitan dalam mengendalikan emosi, membuat para orang-orang cerdas dengan IQ diatas 145, sulit untuk sukses.

Dunia pendidikan mengadopsi sistem nilai ini, bahwa orang cerdas belum tentu berhasil di masa yang akan datang. Sampai disini, saya diselamatkan.

Saya terlahir dengan 12 bersaudara, sehingga kami dipupuk dengan rasa persaudaraan, kesetiaan dan pengendalian emosi. Kami akan mendapatkan senyuman dan pujian yang selangit, jika dapat rukun dan damai, Karena orang tua saya tidak mensyaratkan nilai yang baik, menjadi juara atau predikat-predikat lainnya, yang dapat membanggakan orang tua, ketika anaknya disebut pintar. untuk juara satu di kelas, Cuma dapat senyum dan ciuman di kepala. Keluarga lebih menekankan kekuatan bersanding daripada bersaing.

Orang dengan latar belakang agama tidak mau kalah, katanya Spiritual Quotient lebih penting dan lebih menentukan. Karena, ketika orang itu pintar, sukses dalam hidupnya, namun tidak mempunyai pegangan hidup yang baik, atau kecerdasan spiritual, maka kemungkinan untuk melakukan penyimpangan sangat besar. Contohnya banyak, didepan mata dan sering kita dengar di televisi, berapa banyak orang yang pintar secara intelektual, ramah dan sopan kepada orang lain, namun sanggup korupsi milyaran rupiah. Katanya, tidak punya prinsip agama.

SQ menjadi jawaban yang ditunggu-tunggu, untuk menyelesaikan permasalahan bangsa yang sudah keburu semrawut, kusut dan tak terkendali. Tukang ceramah jadi laku keras, nasehat-nasehat jadi lebih sering kita dengar. Dibatas ini, saya jagi bingung.

Karena, banyak sekali para pakar yang memproklamirkan diri, bahwa ilmunya yang paling benar, yang paling dapat dipercaya untuk membuat seseorang itu sukses, sehingga lahirlah Quotient-quotient baru, kecerdasan-kecerdasan baru, yang sistem penilaiannya masih dalam proses. Seperti Bussiiness Quotient (kecerdasan bisnis), Social Quotient (kecerdasan sosial) dan lain-lain. Malah, kalau boleh saya menambahkan, ada yang belum dibahas, yakni Couple Quotient (kecerdasan berpasangan), ketika kita menjadi suami istri, maka dibutuhkan kecerdasan-kecerdasan tersendiri.

Letak kebingungan saya adalah, setiap kecerdasan itu memiliki nilai, memiliki batasan-batasan sendiri. Sehingga, bisa jadi suatu tindakan, benar menurut quotient A, namun tidak benar menurut quotient B. Contoh, ketika kita membeli cicin berlian dengan 24 karat, seharga 40 juta di Mall, dan kita masih dapat tersenyum dengan manis dengan para pengemis di depan Mall tanpa memberikan apa-apa, maka hasilnya adalah: menurut IQ, benar, selama berlian yang kita beli, bukan hasil korupsi dan mencuri, kita tidak salah, masalah pengemis yang kita tidak kasih dan tidak turut berempati, itu urusan dia, kenapa dia malas bekerja, sehingga jadi pengemis. Menurut EQ, ada benarnya dan ada salahnya, benar ketika kita membeli dengan uang kita sendiri, dan tidak ada orang yang berhak melarang, namun salah, ketika kita tidak mau berempati dengan pengemis tadi, seharusnya kita memberikan uang sekedarnya. Menurut SQ, salah, karena kita lebih mendahulukan kesenangan pribadi dibandingkan menolong sesama.

Jadi, secara otomatis, orang yang IQnya tinggi, mungkin saja EQ dan SQnya rendah, atau sebaliknya, EQ dan SQnya tinggi, tapi IQnya rendah, atau semuanya rendah. Atau harus ada penilaian tersendiri, sehingga angka-angka yang kita dapati, paling tidak membuat kita bisa berbesar hati.

Tapi, untuk saya pribadi, saya punya alat ukur sendiri, untuk mengukur apakah teman saya punya IQ tinggi, EQ tinggi, atau SQnya tinggi. Dengan melihat, mendengar, mencium, diskusi dan berbicara. Dan Alhamdulillah, instrumen yang saya gunakan dan saya temukan sendiri ini, sering mendekati kebenaran. Mau tahu?

Untuk mengukur tinggi atau tidaknya IQ seseorang, mungkin lebih menekankan kepada penglihatan, pendengaran dan diskusi. Sederhananya, orang yang IQnya tinggi dapat kita lihat, dan kita dengar, melalui diskusi. Jika alasannya masuk akal dan mempunyai pondasi berfikir yang baik, serta wawasan berfikirnya luas, maka orang ini dapat kita nyatakan cerdas secara IQ.

Untuk mengukur tinggi atau tidaknya EQ seseorang, dapat kita lihat dari cara bicara, jalan, mengantri dan sopan santun. Kalau bicaranya mau menang sendiri, terus ngantrinya mau cepat, nyelak sana nyelak sini, kalau bawa mobil sering ngebut, kalau bawa motor, knalpotnya bisa manggil hujan, terus giginya kuning, bajunya kumal ga pernah di cuci, badannya bau, gak peduli ama orang disekitarnya, kalau ngomong tidak mau kalah, maka orang ini EQnya rendah.

Untuk mengukur tinggi tidaknya SQ seseorang, dapat kita lihat dan dengar langsung, apakah ia tinggi hati, terus taat atau tidak dengan agamanya, sifat irinya kepada orang lain, hobi gosipnya (penelitian tentang majalah dan media infotainment khusus gosip belum dilakukan, jadi belum ada nilai!). kalau seluruh pointer ini lebih banyak kearah yang tidak baiknya, maka orang tersebut, masuk kedalam kategori SQnya rendah.

Anda sependapat?

Sabtu, 03 Januari 2009

Kisah Duka Seorang Hamba Allah

Dua hari yang lalu, istri saya bertemu dengan seorang Ibu yang menjadi guru PAUD di daerah Perumnas Klender, dengan berlinangan air mata ia berusaha menceritakan semua yang dialaminya dalam tahun-tahun terakhir ini. Kami semua akrab dengan Ibu ini, karena dia pernah menjadi guru ngaji anak saya.

Berawal dari tekanan orang tua, untuk keluar dari rumahnya, dan hidup yang kurang beruntung karena berlatar belakang ekonomi kurang mampu, akhirnya mereka putuskan untuk hidup terpisah dari orang tua, dengan menyewa rumah petak di daerah Klender. Suaminya bekerja sebagai pegawai sebuah bengkel motor, yang pendapatannya sangat bergantung dari berapa banyak motor yang ia tangani, sementara untuk menutupi kekurangan biaya sehari-hari, ia bekerja sebagai guru ngaji di TPA. Dikarenakan TPA ini adalah milik perseroangan, maka manajemen yang diterapkan adalah “manajemen keluarga”, selama membawa keuntungan untuk keluarga, maka dukungan akan diberikan. Jika tidak membawa keuntungan untuk keluarga, terutama materi, maka dukungan akan ditarik, bahkan pemecatan sepihak menjadi kartu yang selalu digunakan untuk menghentikan protes.

Dua tahun yang lalu, Ibu ini datang ke rumah, untuk pamit pindah ke Bekasi. Bertekat merubah nasib bersama suami di Bekasi dengan membuka bengkel seadanya. Malang tak dapat ditolak, usaha baru buka 6 bulan, dan tanda-tanda perubahan menuju kebaikan mulai terlihat, sang suami ditabrak mati oleh orang yang sampai sekarang tidak mau bertanggungjawab. Dengan berat hati, dan menebalkan muka, ia kembali ke rumah orang tua. Memulai hidup baru dengan status perkawinan yang baru, janda dengan 2 anak.

Dalam keluarga yang tidak beruntung, numpang tidur saja sudah menjadi masalah besar, apalagi numpang makan, maka dengan seluruh sindiran yang ia terima, dia paksakan untuk tinggal bersama. Sambil mencari pekerjaan disana-sini, dengan berbekal ijazah D1 PGTK. Akhirnya diterima di salah satu PAUD yang sekarang sedang menjamur dimana-mana, dengan gaji Rp. 150.000,-/bulan, tanpa tunjangan apa-apa. Untuk menutupi kekurangan, membantu mengajar ngaji di TPA dengan gaji Rp. 100.000,-/bulan, juga tanpa tunjangan apa-apa.

Cukupkah hidup di Jakarta dengan uang Rp. 250.000,-/bulan? Untuk 3 orang, 1 orang Ibu dan 2 orang anak dengan usia 6 tahun dan 2,5 tahun. Akhirnya, dengan paksaan yang cukup menghinakan, anak pertama diambil oleh neneknya, dengan sindiran untuk hidup lebih layak, dan takut cucunya tidak dapat sekolah dengan baik.

Pagi ini kita berjumpa lagi, ia menambahkan cerita yang kemarin, latar belakang hidupnya, keluarga suaminya dan harapan terhadap hidup yang lebih baik. Rasanya, jika tidak percaya akan adanya Allah, mungkin sudah lama ia mengakhiri hidupnya. Karena dua alasan ini, ia masih mau bertahan hidup, Allah dan anaknya.

Saya ditampar oleh kenyataan, ditengah gegap gempitanya orang hidup, mencari kemewahan, mencari tambahan yang bukan lagi untuk hidup cukup, tapi foya-foya. Sementara datang kepada saya, seorang yang didepan mata, dan saya yakin pasti ada di sekeliling kita, mengharapkan belas kasihan, tapi malu untuk meminta. Bertahan hidup dengan kelaparan, hinaan dan ketidak-berartian hidup. Masihkah kita berani berkaca, dengan mengatakan kita telah “berislam” dengan baik.

Tergambar dalam pikiran saya, sanggupkah kita menjalankan kehidupan seperti dirinya. Berusaha hidup layak dengan ketidaklayakan pendapatan. Rp.250.000,- untuk bertahan hidup, ditengah kebutuhan susu dan gizi untuk pertumbuhan anaknya.

Kita mengajarkan mereka untuk mencuri, karena kita membiarkan mereka hidup dibawah kemelaratan yang tak terperi. Khalifah Umar bin Khattab pernah tidak menghukum orang yang mencuri, karena dia tidak punya apa-apa. Bahkan Umar akan menarik harta orang yang kaya untuk orang yang miskin di sebelahnya, nabi pun pernah bersabda: “Bukanlah dari golonganku, jika ia tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan”

Dimana letak sempurnanya Islam, jika kita hanya mengaji pada tataran ilmu, tidak mengimplementasikannya di dunia, membumikan pengetahuan agama kita, merangkul saudara kita, merasakan kesedihan mereka, ikut merasakan penderitaan mereka. Bukan dengan ucapan belaka, bukan dengan data statistik yang dimanipulasi, tapi dengan uluran tangan, membuka kedua tangan kita untuk menerima mereka.

Bahayanya dalam masyarakat kita, memandang seorang janda, sebagai pengganggu kehidupan keluarga yang lain, sehingga mereka dikucilkan, sementara mereka pun memiliki anak, anak yatim, yang nabi titipkan kepada kita dan diperkuat dalam Al-Quran. Anak mereka menjadi sulit untuk diasuh karena kita, karena kita telah menyudutkan mereka, menyudutkan orang yang tidak memiliki bapak, dengan memberikan label anak nakal, dengan label anak sulit diatur.

Mereka menjadi anak yang sulit diatur karena mereka kehilangan kendali, mereka mencari keseimbangan yang tidak ia terima, karena hilangnya satu sandaran mereka. Jangan diperburuk dengan tudingan miring kepada mereka.

Sempurnakan keislaman kita, jadikan Islam memang menjadi rahmatan lil ‘alamin, dengan menerima mereka, dengan merangkul mereka dan mendengarkan seluruh derita mereka, kemudian bantu mereka.

Jika kita merasa risih dengan keberadaan mereka, dan tidak terketuk untuk meringankan derita mereka, maka sudah selayaknya kita mengevaluasi diri kita.

Ketika kami berpisah, dan saling memberikan doa. Satu lagi pelajaran yang nyata telah Allah hadirkan dihadapan kami. Bukan untuk dihindari, tapi dihadapi.

nb. Untuk seorang yang melangkah dengan segunung kesabaran

Wallahu al-Musta’an

M. Suja’i Anhar

Cara Mudah Membuat Tulisan (New Version)

Saya sangat tergoda untuk membuat tulisan tentang cara mudah membuat tulisan, walaupun secara pribadi, saya bukanlah termasuk orang yang pandai membuat tulisan. Padahal sudah banyak orang memberikan kiat-kiat menulis, tak terhitung jumlahnya, termasuk lagi dengan pelatihan-pelatihan menulis, namun masih saja terasa sulit untuk membuat tulisan. Oleh karena itu, pada judul saya diatas, sedikit diberikan tambahan, new version. Bukan mau bikin beda atau aneh-anehan, cuma mencoba memberikan solusi sedikit. Ya, sedikit saja, tidak merubah konstalasi berfikir pembaca.

Pertama, menulis adalah sesuatu yang sangat alami, tidak perlu grogi atau nervous. Sama halnya seperti berbicara, berkomunikasi kepada orang lain, ketika kita lahir dan tumbuh, kita sudah dapat berinteraksi dengan orang lain, menerima informasi dan menyampaikan informasi kepada orang lain. Terlepas dari berkomunikasi dengan satu orang, atau hanya berkomunikasi kepada orang-orang terdekat saja, intinya sama saja, menyampaikan informasi. Informasi dapat berupa sesuatu yang kita lihat apa adanya, yang sering kita sebut data, atau informasi yang sudah kita olah, yang kita sebut dengan opini. Menyampaikan informasi kepada orang lain secara lisan atau isyarat, mungkin sudah menjadi bahasa keseharian kita, selama informasi ini dapat dipahami oleh orang yang kita sampaikan, maka fungsi komunikasi sudah berjalan.

Tidak berbeda dengan bahasa tulisan, jika kita hanya mau menyampaikan informasi berupa data saja, Insya Allah tidak ada masalah. Contohnya, ketika melihat tikus mati di pasar, kita diminta menulis apa yang kita lihat, maka kita tinggal menuliskan saja, saya melihat tikus mati di pasar, tidak lebih. Mudah sekali, menyampaikan sesuatu sesuai data yang ada. Tidak perlu menganalisa, dan tidak perlu memberikan tanggapan.

Nah, sekarang apa bedanya penulis yang baik dan penulis yang kurang baik. Bedanya adalah, dalam memaparkan data tersebut. Untuk penulis pemula, mungkin kesulitan memberikan kata-kata diluar data yang ada, sehingga dalam menyampaikan tulisan, hanya menyampaikan data saja. Sampai disini, tidak ada masalah, semua orang dapat melakukan. Sekarang kita melangkah sedikit lebih jauh, dalam menyampaikan data, kita tambahkan sudut pandang, untuk menjadi penulis yang baik. Sewaktu kita menuliskan ada seekor tikus yang mati dipasar, yang merupakan data, kita tambahkan keterangan tempat, contohnya, ada seekor tikus mati di lorong menuju pasar, disamping toko kelontong, diseberang warung makan. Dengan menambahkan sedikit keterangan tempat, maka cerita tersebut menjadi lebih jelas, dan mungkin sedikit menarik.

Untuk menambahkan latar belakang suatu cerita atau data, dan untuk lebih memperjelas apa yang terjadi, disinilah kita dapat menggunakan rumus penulisan yang sudah ratusan tahun digunakan, yakni 5W + 1H. What, where, when, who, why dan how.

Ketika kita menyampaikan suatu berita, sesuai dengan kaidah 5W + 1H, maka kita sudah memaparkan sesuatu sesuai dengan kaidah penyampaian informasi, dalam hal ini adalah penyampaian berita secara rinci. Tidak susah khan? Kita ambil contoh yang sangat sederhana, hari ini, Presiden SBY menandatangani perjanjian kerjasama dengan Ketua delegasi Hamas di Jakarta, untuk mengirimkan pasukan khusus Indonesia guna mengusir tentara Israel dari jalur Gaza. Mari kita rinci, whatnya adalah perjanjian kerjasama, wherenya adalah di Jakarta, whennya adalah hari ini, whonya adalah Presiden SBY dan Ketua delegasi Hamas, whynya adalah tentara Israel yang masuk ke jalur Gaza, dan terakhir, Hownya adalah bagaimana mengusir tentara Israel.

Jika anda ingin menyampaikan informasi yang berbentuk data saja, maka itu sudah cukup. Ketika orang lain paham, bahwa ada perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Hamas untuk mengusir Israel dari jalur Gaza, itu sudah cukup. Anda sudah menjadi penulis.

Untuk menjadi penulis yang baik, kita tidak hanya menyampaikan data, seperti apa adanya data, tapi lebih dari itu. Lebih menarik, dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan gamblang, lebih rinci, dengan menambahkan keterangan-keterangan yang memperjelas cerita, lebih komprehensif, dengan tambahan pendapat-pendapat, baik pribadi, pakar atau para praktisi.

Intinya, membuat tulisan lebih dari sekedar menyampaikan data, orang jadi tertarik, menjadi lebih jelas dengan sudut pandang yang berbeda. Contohnya, hari ini, tanggal 3 Januari 2008, Indonesia mencatatkan sejarah penting, melalui Pemerintahan SBY beserta seluruh menteri-menterinya, Indonesia mengadakan perjanjian dengan delegasi Hamas, yang sangat fenomenal dari perjanjian ini adalah, Indonesia akan mengirimkan pasukan terbaiknya untuk mengusir tentara Israel dari jalur Gaza. Ini menjadi catatan sejarah tersendiri bagi negara Indonesia, karena sejak kemerdekaan, kita tidak pernah menyatakan dukungannya secara terbuka kepada negera yang sedang mengalami konflik, dan akan turun tangan langsung. Perserikatan Bangsa-Bangsa merasa prihatin atas sikap Pemerintah Indonesia ini, dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap negara-negara lain.

Didalam tulisan di atas, ada beberapa penekanan, keberpihakan dan sikap dunia internasional, dimana hal ini adalah pengembangan dari kondisi yang ada. Tidak susah kan? Ini namanya angle cerita atau sudut pandang, kita memberikan sudut pandang kepada pembaca.

Kedua, mudahnya menulis itu sama seperti mudahnya bercerita. Selama orang itu dapat membaca dan menulis, maka memaparkan cerita dalam bentuk tulisan menjadi mungkin. Setiap orang mampu menulis. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh orang yang mau menulis, seperti yang telah banyak disampaikan oleh para trainer dan penulis. Saya coba rangkumkan, dan tinggal dipraktekkan. 1) Banyaklah berlatih, karena praktek akan membuat kita terasah, 2) Tulislah tanpa mengedit, jangan menulis sambil mengedit tulisan, 3) Mulailah dari sekarang, 4) Buatlah bagan cerita, agar lebih mudah, 5) Mintalah pendapat orang tentang tulisan anda.

Ini semua merupakan rangkuman yang saya coba berikan kepada anda, walaupun tidak mudah dalam melakukannya, dan proses kemampuan menulis seseorang juga dipengaruhi oleh apa yang ada di dalam otak penulis, maka setiap orang, mempunyai kemampuan menulis sesuai dengan gaya masing-masing.

Gaya Andrea Hirata yang fotograpik, sangat rinci terhadap lingkungan dan kejadian yang akan diceritakan, gaya Emha Ainun Najib, menekankan pada alur ceritanya, bukan pada kondisi lingkungan kejadian, gaya Gunawan Muhammad, yang lancar dalam bertutur, dan gaya tulisan novel yang menekankan pada pembicaraan. Setiap kita mempunyai gaya, tidak perlu memaksakan gaya orang lain kepada kita, mungkin kita mempunyai gaya sendiri, jangan takut berbeda dalam menyampaikan. Semuanya boleh-boleh saja.

Ketiga, ketika kita sudah terbiasa dalam bahasa tulisan, maka seperti halnya pemain musik, kita dapat menari dalam tulisan kita. Memainkan emosi pembaca, mencari sudut pandang yang berbeda dari orang kebanyakan, dan mungkin juga menyampaikan sesuatu yang orang lain tidak peduli. Maka pengalaman menulis adalah penting, sepenting latihan bagi pemain musik. Tidak akan pernah ada orang terlahir langsung pintar di satu bidang, hukum alam tidak dapat dimanipulasi. Proses tanam, merawat dan memanen adalah proses yang tidak dapat dipotong. Menanam hari ini, langsung menuai esok pagi, tidak akan pernah ada. Ada proses yang tidak dapat kita langkahi, maka mulailah berlatih.

Contoh yang sangat konkrit dalam hal ini adalah, sales. Beda antara sales yang baru dan sales yang lama tidaklah banyak, yakni pengalaman. Sales yang baru mungkin akan nervous ketika membuka pembicaraan dengan pelanggan yang baru ditemuinya, grogi dan lain-lain. Namun, setelah 3 – 4 kali bertemu dengan pelanggan yang baru, maka menjumpai pelanggan yang baru menjadi hal yang menyenangkan, tidak takut dan malah menjadi tantangan sendiri. Ini tidak jauh berbeda di dunia tulisan, awalnya kita mengalami kesulitan untuk memulai, dan akhirnya, kita tidak takut untuk memulai.

Keempat, untuk menjadi penulis yang baik, maka kita harus terus mengembangkan ilmu kita, wawasan, dan informasi. Semakin kaya akan informasi, semakin mudah kita mengaitkan suatu data dengan suatu cerita. Semakin indah dan menarik bahasa kita dalam bertutur, karena informasi akan sangat membantu mencarikan alur-alur untuk menulis. Seperti sosial, hukum, ekonomi, pendidikan, estetika, etika, agama dan lain sebagainya.

Hanya penulis yang tidak ingin berkembanglah yang tidak mau meningkatkan ilmunya, tidak mau mengasah lagi ilmu-ilmu yang telah ia kuasai.

Kelima, seorang penulis akan terlatih berfikir logis dan analitis, oleh karena itu, setiap individu yang ingin mengembangkan kemampuan menulisnya, harus mengasah kemampuan logis dan analisisnya. Mencari kaitan suatu data, merunutkan suatu cerita, memaparkan dan akhirnya menjadi enak untuk dibaca.

Semoga bermanfaat.