“Hebat ya, Mas dengan IQ 135, mau kuliah ditempat kayak gini, di kampung, tempat terpencil lagi!”. “disini mah, yang rumahnya ada mahasiswa aja bisa dihitung. Eee, Mas yang dari Jakarta, kota besar, mau kuliah di Rejang Lebong, apa ga salah?”. “Dengan IQ 135, Mas bisa masuk ITB, IPB, UI atau UGM. Ngapain masuk sini?”
Tahu ga? Kata-kata ini meluncur dari salah seorang teman saya, ketika saya bilang IQ saya 135. Dengan penuh keheranan dan penuh takjub, dia langsung memuji setinggi langit atas kecemerlangan otak saya. Semuanya keluar begitu saja, dan dengan rasa tulus ikhlas, dia memohon, supaya saya tetap tinggal di daerah itu, untuk memajukan daerah katanya, “khan sudah otonomi daerah, kalau daerah gak punya orang pintar, bagaimana bisa maju”
Saya bilang kepadanya, waktu test IQ, hasil testnya menunjukkan 135. Test dilakukan oleh sekolah untuk mengukur kemampuan siswanya, apakah dapat bersaing di tingkat Perguruan Tingggi, dan hasil ini akan diberikan langsung kepada orang tua. Tapi ada satu hal yang tidak saya ceritakan, waktu saya test IQ, disebelah saya ada orang jenius yang memang IQnya 139 dan memang jebol di ITB. Nah, saya adalah orang yang beruntung ditengah tidak ketatnya pengawasan test IQ tersebut. Saya contek habis hasil jawaban teman saya. Hasilnya adalah, “135”, angka yang menurut para pendidik, angka yang hanya dapat didapat oleh orang-orang tertentu di dunia ini. Karena hasilnya dibagikan langsung di dalam amplop, maka sebagian besar guru-guru tidak ada yang tahu.
Kalau dibilang saya tidak jujur, maka saya menolak, karena saya menyampaikan apa yang secara jelas tertulis nama saya di dalam hasil test tersebut. Mengenai cara saya mendapatkan, itu adalah bagian lain yang saya tidak ceritakan. Apakah tidak menceritakan hal yang sebenarnya (bukan mengada-ada!) merupakan perbuatan tidak jujur?
Karena saya banyak melihat, kasus-kasus yang dalam pengadilan, ketika ditanya, para tersangka banyak menjawab tidak tahu, lupa dan lain-lain, yang intinya tidak bercerita sesuai apa yang terjadi. Toh! kosa kata “jujur” di bangsa ini juga sudah lama dihapus, gitu aja repot!
Beneran! Bukan saya membela diri, tapi kalau bangsa ini memang mau jujur, mungkin sudah lama kita keluar dari krisis. Ga perlu banyak Hakim, Jaksa, Polisi, dan lain-lain yang semuanya dibiayai oleh negara untuk mencari salah orang-orang di sekitar kita.
Mau masuk jadi PNS, pakai cara curang, pakai becking, katebelece, surat sakti, koneksi dan sebagainya. Mau menang berperkara di pengadilan harus bayar sana, bayar sini, dari kasus penyelidikan di Kepolisian, penyidikan di kejaksaan, dan terakhir di pengadilan.
Kata-kata jujur, mungkin sudah banyak dilupakan waktu kita belajar di sekolah, kita banyak diajarkan belajar biar pintar, kalau pintar kita bisa kerja jadi PNS, atau paling tidak kerja dengan gaji yang lumayan untuk hidup. Tidak ada kalimat, jujurlah kamu terhadap apa yang terjadi, walaupun kamu harus dipenjara, karena mengatakan kejujuran.
Jujur lebih banyak dikonotasikan dengan bodoh, tidak pintar, lugu, gak bakal selamat. Semuanya sudah memberi aba-aba, pandai-pandailah kamu hidup! Pandai saja untuk hidup di abad ini tidak cukup, kata pandai harus sudah dua kali. Pandai-pandailah! Berarti....... cari kesempatan.
Waktu saya menemani seorang teman dalam proses pengadilan, pengacaranya dengan jelas berkata, “cari HAKIMnya, cari HAKIMnya”. Dalam benak saya yang lagi pusing, karena tidak mengerti dengan proses pengadilan di negeri ini, saya bertanya, “bukankah hakim mana saja akan sama, memutuskan yang benar menurut hukum, dan menetapkan yang salah menurut hukum”. Dengan pelan pengacara tersebut berkata, “Dik! Tahukah kamu singkatan HAKIM?”. “HAKIM adalah Hubungi Aku Kalau Ingin Menang!”
Kalau sudah begini, apakah tidak bercerita hal yang sebenarnya, termasuk perbuatan yang tidak jujur?. Berapa banyak teman sejawat, membuat tulisan, download dari internet, ganti cover, jadi makalah dengan namanya. Bagaimana dengan teman-teman yang sudah mendapat gelar Magister... dan Doktor.... tapi semuanya hasil jerih payah orang lain.
“Hey! Jadi, IQ loe sebenarnya berapa?” “80!”, “ga lebih”, “itu juga sudah minta bocoran soal dari penjaganya!”... hik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar