Entah apa yang ada dalam pikiran ini, tapi setelah apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan termasuk yang saya rasakan sekarang, sepertinya hidup kita dan termasuk seluruh bangsa ini, tidak terlepas dari pengaruh Golkar. Baik itu pengaruh positif maupun pengaruh negatif, sebagai rakyat kita terima saja, namun Tuhan yang di atas sana pasti punya perhitungan sendiri, terhadap apa yang terjadi dimuka bumi yang telah Ia ciptakan.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya terdampar di salah satu negeri, di sebuah Rumah sakit untuk para pendatang di Uni Emirat Arab, tepatnya di Sharjah, saya melihat seorang wanita dengan pakaian khas seorang pembantu, wajah Indonesia yang sangat saya kenal, sedikit ketakutan, duduk di lantai di pojok ruang tunggu, bukan duduk dibangku yang telah disediakan. Karena merasa satu bangsa, maka saya mendekati ibu itu. “Ibu orang Indonesia?”. Sambil ketakutan ibu itu menjawab “ya, saya dari Indonesia”. “Saya juga dari Indonesia, Ibu duduk aja di bangku, sama-sama kita, kita juga lagi ngantri. Ibu sakit?”. Saya melihat dengan jelas, wajah ketakutan yang sangat kentara dari raut wajah yang sudah kuyu, dan ibu itu lari keluar ruangan.
Di negara seperti Uni Emirat Arab, dimana pendatang lebih banyak dari penduduk asli, yakni lebih dari 80% penduduknya adalah pendatang, yang mencari penghidupan, baik dari India, Bangladesh, Filipina, bahkan dari negara Eropa bagian Timur. Maka persatuan dari negara masing-masing menjadi satu keharusan, saling melindungi, saling membantu dan saling memberi informasi. Tidak heran, jika kita datang ke suatu tempat kerja di Negara ini, maka mayoritas pekerja di tempat tersebut adalah, warga negara dari pemegang kekuasaan tertinggi. Dengan catatan, mereka saling melindungi.
Berbeda dengan bangsa kita, sepertinya kita selalu menjadi warga negera kelas dua, dimana pun kita berada. Jangankan kita di negera orang, di negeri sendiri, kita dibuat oleh bangsa kita menjadi warga negara kelas dua. Ketika kita bersengketa dengan warga negara asing di negara kita, maka sudah pasti, kita akan lebih diberatkan, bukan diringankan. Berbeda dengan negara-negara lain. Ketika warga negaranya bermasalah, maka negera akan turun tangan untuk membela dan membantu. Contoh yang paling jelas adalah, ketika salah satu tenaga kerja wanita dari Filipina dia mengalami pelecehan seks, tidak tanggung-tanggung, Presiden Filipina turun langsung, untuk membantu. Mungkin, kita ditakdirkan untuk cari selamat masing-masing.
Sepertinya kita selalu menjadi nomor 2, jadi warga negera nomor dua dimana pun, kapan pun, tidak boleh nomor satu. Sejak kecil, sejak mulai belajar di kelas, kita terlatih untuk selalu menjadi nomor dua, atau paling tidak menjadi warga negara kelas dua. Ketika masuk kelas, maka guru menjadi warga negara kelas satu, yang bebas berbicara apa saja, menentukan benar salah, memiliki kebenaran yang absolut dan tak terbantahkan di kelas, kita tidak boleh bicara, kecuali di izinkan, itupun harus sependapat dengan guru. Dari kecil dan di sekolah kita sudah dilatih menjadi warga negara kelas dua. Celakanya, budaya di kelas murid selalu menjadi nomor 2 ini, terus dibudayakan, sehingga proses belajar sampai saat ini, murid tidak boleh lebih pintar dari guru, nanti malah ga lulus. Pen, tidak lebih.
Konon kabarnya, Emha Ainun Najib memberikan ejaan Golkar dengan Gold Car, artinya mobil dari emas, mobil dari emas yang sudah pasti bukan kendaraan nomor satu, tidak mungkin digunakan sembarangan. Pasti disayang dan diberi perhatian khusus.
Semuanya serba di duakan, terjadi duaisasi, jalan adanya 2 arah (emang mau berapa arah?), anak bolehnya Cuma dua. Pak Harmoko yang ketua Golkar, dipilih langsung dan disetujui oleh Presiden kita yang kedua. Pokoknya, segala sesuatu yang kita lihat waktu itu, Cuma ada angka 2. Termasuk kita dijadikan warga negara kelas dua dalam segala hal.
Termasuk dalam hidup saya. Saya adalah anak ke 2, menikah dengan orang nomor dua dari akhir keturunannya, memiliki 2 anak perempuan, punyak anak laki-laki nomor 2, punya 2 handphone murah, punya kendaraan roda dua (yang dua X dua belum kesampean). Saya dan kehidupan saya juga mengalami dampak langsung duaisasi. Hebatnya angka 2!
Tapi, seandainya saya diberi kesempatan bertemu dengan Pak Harmoko yang terhormat, saya ada 2 pertanyaan yang ingin saya sampaikan: pertama, waktu Bapak Tahyat dalam sholat, apakah Bapak mengacungkan 2 jari? Kedua, kenapa Bapak tidak memproklamirkan wajib 2 istri, selaku kecintaan Bapak terhadap angka dua itu. Semoga Bapak gak tersinggung dengan 2 pertanyaan ini, karena anggap saja ini omongan kita ber2.
Hehehe, It’s Suja’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar