Minggu, 11 Januari 2009

IQ, EQ, SQ dan .....

Ada-ada saja manusia zaman sekarang, entah karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, atau karena memang kebutuhan yang semakin meningkat, sehingga sebuah bahasan atau topik akan sangat diperdebatkan di disiplin ilmu yang lain. Area keahlian dari satu disiplin ilmu dibikinkan tembok yang sangat tinggi dan bahkan di puja-puja tapal batasnya.

Intellectual Quotient, atau yang lebih dikenal dengan IQ, pada awal 1970an dijadikan standar kecerdasan seseorang, dijadikan patokan menerima atau menolak seseorang untuk masuk suatu komunitas, sekolah, perguruan tinggi, kerja, profesi. Sehingga pada akhirnya, akan membahas tentang sukses tidaknya seseorang di masa yang akan datang. Sungguh dahsyat pengaruh test IQ pada saat itu, hingga akhir 1980an dan di awal 1990.

Celakanya, patokan ini dijadikan acuan oleh dunia pendidikan, memberikan label pintar atau tidaknya seorang siswa, melalui sederet hitungan yang menggunakan text, gambar, pemahaman, dll. Walhasil, ketika angka kita tertulis dibawah 90 untuk anak yang tamat SMU, maka dengan kata-kata yang sangat lembut, namun mematikan, petugas yang menghitung itu memberikan masukan untuk tidak masuk sekolah yang bagus, percuma katanya.

Lembaga pengukur IQ dan para psikolog, menjadi hakim masa depan anak-anak kita, menentukan arah dan sebaiknya apa yang kita lakukan, tidak bergantung pada keinginan anak. Saya hampir terperangkap.

Pada awal 1990, pada psikolog menemukan lagi sesuatu yang baru, Emotional Quotient. Para psikolog aliran EQ malah berani menyatakan, bahwa IQ tidak dapat dijadikan pegangan untuk menyatakan sukses dan tidaknya seseorang di masa yang akan datang. Kestabilan emosi atau yang lebih dikenal dengan kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam sukses atau tidak seseorang.

Masih menurut pakar EQ, berapa banyak orang yang cerdas secara intelektual, namun sulit untuk berinteraksi dengan orang lain, sulit untuk mengerti perasaan orang lain, sehingga sulit untuk bekerjasama. Kesulitan dalam mengendalikan emosi, membuat para orang-orang cerdas dengan IQ diatas 145, sulit untuk sukses.

Dunia pendidikan mengadopsi sistem nilai ini, bahwa orang cerdas belum tentu berhasil di masa yang akan datang. Sampai disini, saya diselamatkan.

Saya terlahir dengan 12 bersaudara, sehingga kami dipupuk dengan rasa persaudaraan, kesetiaan dan pengendalian emosi. Kami akan mendapatkan senyuman dan pujian yang selangit, jika dapat rukun dan damai, Karena orang tua saya tidak mensyaratkan nilai yang baik, menjadi juara atau predikat-predikat lainnya, yang dapat membanggakan orang tua, ketika anaknya disebut pintar. untuk juara satu di kelas, Cuma dapat senyum dan ciuman di kepala. Keluarga lebih menekankan kekuatan bersanding daripada bersaing.

Orang dengan latar belakang agama tidak mau kalah, katanya Spiritual Quotient lebih penting dan lebih menentukan. Karena, ketika orang itu pintar, sukses dalam hidupnya, namun tidak mempunyai pegangan hidup yang baik, atau kecerdasan spiritual, maka kemungkinan untuk melakukan penyimpangan sangat besar. Contohnya banyak, didepan mata dan sering kita dengar di televisi, berapa banyak orang yang pintar secara intelektual, ramah dan sopan kepada orang lain, namun sanggup korupsi milyaran rupiah. Katanya, tidak punya prinsip agama.

SQ menjadi jawaban yang ditunggu-tunggu, untuk menyelesaikan permasalahan bangsa yang sudah keburu semrawut, kusut dan tak terkendali. Tukang ceramah jadi laku keras, nasehat-nasehat jadi lebih sering kita dengar. Dibatas ini, saya jagi bingung.

Karena, banyak sekali para pakar yang memproklamirkan diri, bahwa ilmunya yang paling benar, yang paling dapat dipercaya untuk membuat seseorang itu sukses, sehingga lahirlah Quotient-quotient baru, kecerdasan-kecerdasan baru, yang sistem penilaiannya masih dalam proses. Seperti Bussiiness Quotient (kecerdasan bisnis), Social Quotient (kecerdasan sosial) dan lain-lain. Malah, kalau boleh saya menambahkan, ada yang belum dibahas, yakni Couple Quotient (kecerdasan berpasangan), ketika kita menjadi suami istri, maka dibutuhkan kecerdasan-kecerdasan tersendiri.

Letak kebingungan saya adalah, setiap kecerdasan itu memiliki nilai, memiliki batasan-batasan sendiri. Sehingga, bisa jadi suatu tindakan, benar menurut quotient A, namun tidak benar menurut quotient B. Contoh, ketika kita membeli cicin berlian dengan 24 karat, seharga 40 juta di Mall, dan kita masih dapat tersenyum dengan manis dengan para pengemis di depan Mall tanpa memberikan apa-apa, maka hasilnya adalah: menurut IQ, benar, selama berlian yang kita beli, bukan hasil korupsi dan mencuri, kita tidak salah, masalah pengemis yang kita tidak kasih dan tidak turut berempati, itu urusan dia, kenapa dia malas bekerja, sehingga jadi pengemis. Menurut EQ, ada benarnya dan ada salahnya, benar ketika kita membeli dengan uang kita sendiri, dan tidak ada orang yang berhak melarang, namun salah, ketika kita tidak mau berempati dengan pengemis tadi, seharusnya kita memberikan uang sekedarnya. Menurut SQ, salah, karena kita lebih mendahulukan kesenangan pribadi dibandingkan menolong sesama.

Jadi, secara otomatis, orang yang IQnya tinggi, mungkin saja EQ dan SQnya rendah, atau sebaliknya, EQ dan SQnya tinggi, tapi IQnya rendah, atau semuanya rendah. Atau harus ada penilaian tersendiri, sehingga angka-angka yang kita dapati, paling tidak membuat kita bisa berbesar hati.

Tapi, untuk saya pribadi, saya punya alat ukur sendiri, untuk mengukur apakah teman saya punya IQ tinggi, EQ tinggi, atau SQnya tinggi. Dengan melihat, mendengar, mencium, diskusi dan berbicara. Dan Alhamdulillah, instrumen yang saya gunakan dan saya temukan sendiri ini, sering mendekati kebenaran. Mau tahu?

Untuk mengukur tinggi atau tidaknya IQ seseorang, mungkin lebih menekankan kepada penglihatan, pendengaran dan diskusi. Sederhananya, orang yang IQnya tinggi dapat kita lihat, dan kita dengar, melalui diskusi. Jika alasannya masuk akal dan mempunyai pondasi berfikir yang baik, serta wawasan berfikirnya luas, maka orang ini dapat kita nyatakan cerdas secara IQ.

Untuk mengukur tinggi atau tidaknya EQ seseorang, dapat kita lihat dari cara bicara, jalan, mengantri dan sopan santun. Kalau bicaranya mau menang sendiri, terus ngantrinya mau cepat, nyelak sana nyelak sini, kalau bawa mobil sering ngebut, kalau bawa motor, knalpotnya bisa manggil hujan, terus giginya kuning, bajunya kumal ga pernah di cuci, badannya bau, gak peduli ama orang disekitarnya, kalau ngomong tidak mau kalah, maka orang ini EQnya rendah.

Untuk mengukur tinggi tidaknya SQ seseorang, dapat kita lihat dan dengar langsung, apakah ia tinggi hati, terus taat atau tidak dengan agamanya, sifat irinya kepada orang lain, hobi gosipnya (penelitian tentang majalah dan media infotainment khusus gosip belum dilakukan, jadi belum ada nilai!). kalau seluruh pointer ini lebih banyak kearah yang tidak baiknya, maka orang tersebut, masuk kedalam kategori SQnya rendah.

Anda sependapat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar