“Transdisiplinaritas itu adalah disiplin ilmu tanpa disiplin ilmu”
“Ente yang bener aja, ga ada suatu disiplin ilmu yang kemudian untuk karena sesuatu hal, lantas disiplin ilmunya dibuang, belajar dari mana?”
“Itu tuh!, waktu ane ikut seminar ama Prof. Dr. Conny Semiawan, sebagai pencetus Transdisiplinaritas”. “dia bilang, Transdisiplinaritas sudah merupakan keharusan, tidak ada satu disiplin ilmu yang dapat berdiri sendiri lagi, karena sekarang sudah dibutuhkan penggabungan dua atau lebih dari masing-masing disiplin ilmu, sudah gak zamannya seorang ekonom, berbicara hanya dari satu sudut pandang. Ini harus dikembangkan, seseorang dengan latar belakang pendidikan ekonomi misalnya, dia juga harus tahu tentang kedokteran, sosial, hukum. Sehingga akan muncul kedewasaan berfikir”.
Itu kalau gak salah kutip, dari seorang peserta seminar, yang duduknya paling belakang, dipaksa ikut, setengah mengantuk dan memang gak ngerti permasalahan “disiplin-disiplinan” dari ilmu pengetahuan. Ditengah sibuknya para narasumber berbicara, menjelaskan berbagai macam teori pendidikan, ekonomi, sosial, psikologi, filsafat dan lain-lain, (dengan rasa rendah hati, kami mohon maaf kepada yang disiplin ilmunya tidak disebut, untuk mencantumkan sendiri). Huh, jadilah kita seorang peserta dengan sekedar mengharapkan sertifikat, seperti duduk di bara api selama ribuan tahun.
Bapak Dr. Imam Prasodjo dengan gayanya yang penuh humor, mengungkapkan, bahwa transdisiplinaritas seperti gabungan dari seluruh disiplin ilmu, tapi dia bukan multidisiplin, karena konsepnya adalah menyatukan antara dua, tiga dan lebih disiplin ilmu menjadi satu kesatuan. Dikarenakan Ibu Conny adalah pioneernya, maka diharapkan Ibu Conny terus mengawal pengembangan transdisiplinaritas di Indonesia. Kayak induknya rayap, kalau induknya mati sebelum berkembang atau lahir induk baru, dikhawatirkan pengembangan transdisiplinaritas akan mati di Indonesia.
Banyak sekali pembicara yang menyampaikan pemikirannya pada saat seminar tersebut, namun dikarena keterbatasan saya, selaku peserta dengan latar belakang disiplin ilmu agama, yang konon kabarnya adalah disiplin ilmu yang kurang disiplin, karena salah satu kriteria disiplin ilmu adalah empirik, sementara ilmu agama sulit untuk dibuktikan dengan empiris. Bayangkan saja, ketika membahas tentang masalah negara ini, maka orang yang dari disiplin agama tidak diundang, selain takut bikin lambat, takut juga gak nyambung ama pembicaraan.
Saya bangga ikut seminar tersebut, dan juga bangga menjadi mahasiswa Ibu Conny di salah satu mata kuliahnya di UNJ, dengan seluruh dedikasinya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, rasanya sulit mencari gantinya. Tapi, saya juga malu, karena saya termasuk mahasiswa yang banyak kurang mengerti tentang transdisiplinaritas tadi. Selain karena memang otak ini memang sudah kurang daya tangkapnya, karena sekelas pentium 2, ditambah lagi dengan latar belakang agama yang memprihatinkan.
Padahal, menurut saya, disiplin ilmu agama adalah disiplin ilmu yang pertama dan tertua, karena landasan kita adalah taat perintah Tuhan. Waktu nabi Adam diciptakan, sebelum ada Hawa, berarti belum ada ilmu sosial, dan belum ada uang, berarti belum ada ilmu ekonomi yang konsep dasarnya adalah cari untung, baik dengan cari membeli atau menjual, atau tukar tambah. Adam cuma disuruh jangan dekati pohon khuldi, gak disuruh mikir apa sebabnya dan mengapa, padahal mikir adalah akar dari filsafat, berarti waktu itu filsafat selaku induknya ilmu, juga belum ada, tapi ilmu agama sudah ada. Ilmu agama hanya berbicara bagaimana menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, bagaimana menjalankan hidup sesuai dengan aturan yang memang telah ditetapkan. Ilmu yang ada setelah ilmu agama adalah politik, karena setelah itu, setan menggunakan seluruh daya upaya untuk menjatuhkan manusia dari surga ke dunia, itu sepertinya ilmu politik, saling menjatuhkan dan ingin menang.
“Ah, itukan omongannya orang kayak ente, yang bisanya Cuma melogikakan sesuatu yang gak logis”
“Bukan itu maksudnya”
“Maksudnya adalah, transdisiplinaritas memang sudah mesti diterapkan dalam kehidupan, seperti seorang dokter meriksa pasien, terus bukan hanya menggunakan diagnosa, anamnesa, melihat hasil laboratorium, terus langsung nulis resep tanpa tahu dan gak mau tahu keadaan ekonomi sosial pasien”.
“Waktu nulis resep, yang dikasih, obat paten semua dari produk yang memang mahal, gak dikasih yang generik atau murah. Dia gak punya kecerdasan sosial, untuk mengetahui latar belakang seseorang, riwayat hidupnya yang akan sangat mempengaruhi kesehatan pasien tidak pernah mau dilihat”.
“Oleh karena itu, keangkuhan dari suatu disiplin ilmu, yang menganggap ilmunyalah yang paling baik dan yang paling menentukan, harus sudah dikikis, tembok tinggi pembatas antar disiplin ilmu, harus sudah mulai diruntuhkan. Kita bersama dalam mengembangkan kemajuan masyarakat, tanpa harus memaksakan pendapat, berjalan bersama akan lebih nikmat, dengan sedikit menurunkan ego kita”.
Waktu sessi tanya jawab dibuka, saya berniat bertanya, namun dikarenakan banyaknya orang yang mengangkat tangan untuk bertanya, maka saya urungkan niat untuk bertanya, ditambah lagi, saya termasuk orang dalam, dekat ama keynote speakernya, khan bisa ditanya kalau kapan-kapan ketemu.
Teman disebelah kaget, “memang ente mau nanya apa?”
“Ane cuma mau nanya, kan banyak disiplin ilmu yang memang punya bahasa istilah dalam mengungkapkan sesuatu, dan biasanya sudah dibakukan, nah, untuk menyatukannya kan perlu kebesaran hati dari masing-masing kita, gak perlu kecewa dan sakit hati. Seperti ungkapan terjadinya penyatuan dua pihak, kalau bahasa sosialnya akulturasi, kalau bahasa orang kedokteran dikawinkan, kalau bahasa tekniknya blended, kalau bahasa sederhananya kawin atau senggama”
Orang dibelakang berbisik: “Hoi! Kalau sudah kawin atau senggama, mandi wajibnya kapan?”
“Nah itu dia, ane mau nanya, mandi wajibnya kapan, terus siapa yang mandiin?”, “karena kalau sudah kawin gak ada mandi wajib, bisa gak sah!”
Tuh kan, orang agama memang sering gak mudeng!
assalamu alaikum ustad, pa kabar nih..blognya bagus. Kayaknya kita dari redaksi "beranda kita"sudah bisa "copy" artikelnya ke tabloid Beranda kita. ga lagi harus kontak ustad suja'i dulu ya...?
BalasHapusDudi Misky
mampir di blog saya ya: promosia.blogspot.com
terima kasih. semoga kita bisa bekerjasama dengan baik
BalasHapus